miyabi meninggal – http://bokepindo.xyz/foto/foto-memek-lower-becek.html. San… hei saya jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku ingin bobo, semacam itu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat.
“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Ciee… illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar tuutt… tuuuttt… tuuut, ternyata telepon di sana sudah ditutup.
Malam ini aku bisa giliran jaga di bangsal bedah meski di UGD alias Unit Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD jika sudah malam seperti ini jadi pintu gerbang, jadi semua pasien akan masuk via UGD, nanti baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke komponen mana para pasien yang perlu dirawat itu. Syukur-syukur sih bisa ditangani segera di UGD, jadi tak perlu merepotkan dokter bangsal. dr. Sandra sendiri semestinya saya akui ia cukup pintar dan trampil juga, masih sungguh-sungguh muda sekitar 28 tahun, indah menurutku, tidak terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih dengan rambut sebahu. Sifatnya cukup pendiam, sekiranya bicara hening seakan memberikan kesan tabah tetapi yang sering rekan sejawat jumpai merupakan ketus dan judes apalagi apabila lagi moodnya jelek sekali. Parahnya yang kerap kali digambarkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, sampai kini ia masih single. Hanya dengar-dengar saja baru-baru ini ini ia lagi punya hubungan khusus dengan dr. Anton namun saya juga tidak pasti.
Kaprah-kaprah jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, bunyi dibalik pintu itu menyahut, oh suster Lena terbukti.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.
Sampe di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup terdengar bunyi rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tetapi belum sempat kulihat lebih terang saat dr. Sandra menyongsongku, “Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru separo jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya), gimana berdasarkan elu?” demikian ringkasan singkat yang diberi olehnya.
“San, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang diberikannya padaku dan dikala saya berjalan menuju ke daerah pasien itu, sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi langkahku sehingga tak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga nih.
Ketika kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh dibilang hampir putus dan yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit saja.
“Dok, bantu dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya saya panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan kerjanya untuk mendekat dan saya berikan pengertian ke mereka seluruh.
“Siapa nama Bapak?” semacam itu aku memulai percakapan sambil melirik ke status untuk mempertimbangkan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.
“Semacam Pak Prap, aku mengerti situasi Bapak dan aku akan berusaha untuk mempertahankan jari Bapak, tetapi hal ini tidak mungkin dikerjakan karena yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tak ada lagi pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung jari. Jikalau saya jahit dan sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 – 4 hari sesudah itu jari ini akan membusuk dan mau tak mau pada kesudahannya sepatutnya dibuang juga, jadi dijalankan 2 kali.
Jika sekarang kita lakukan cuma butuh 1 kali cara kerja dengan hasil akhir yang lebih baik, aku akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya dan pada penyembuhannya nanti diharapkan lebih pesat sebab lukanya rapih dan tidak compang-camping seperti ini”, seperti itu penjelasan saya pada mereka. Kira – kaprah seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, saya meminta dr. Sandra untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan perbuatan medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD.
“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sebentar.
Entah mengapa ruangan UGD ini sedangkan ber-AC tetap saja saya merasa panas sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar khususnya dari dahi dan hidung yang mengalir sampai ke leher dikala aku kerja itu. Untung Sandra memperhatikan hal ini dan sebagai pembantu ia pesat tanggap dan berulang kali ia menyeka keringatku. Huh… saya menyukai sekali waktu ia menyeka keringatku, soalnya wajahku dan wajahnya semacam itu dekat sehingga saya juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu menarik hati, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke atas sehingga menonjol lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan. Separo jam kemudian selesai telah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka yang kuserahkan pada dr. Sandra. Setelah itu kulepaskan sarung tangan sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ketimbang yang membikin aku tak tahan dari tadi ingin pipis. Saat aku semestinya lari ke bangsal bedah yang cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada toilet, lebih bagus saya pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya lebih bersih.
Dikala kubuka pintu kamar mandi (hendak keluar kamar kecil), “Ooopsss…” terdengar jeritan kecil halus dan kulihat dr. Sandra masih sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya dengan kaos yang diaturnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Saat habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dahulu terus ngapain elu buka baju?” tanyaku tidak berharap disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik pintu biar tak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.
Dia saya hingga di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk dan… ya ampun…. pundaknya yang putih halus tampak hingga dengan ke pangkal lengannya, “San, pundak elu baik”, bisikku dekat alat pendengarnya dan semburat merah muda langsung menjalar di wajahnya dan dia masih tertunduk yang menimbulkan keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan. Ternyata tetap terdiam dan segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan terasa agak lembab. Menonjol itu alasannya ia membuka kaosnya untuk menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga ternyata tadi.
Perlahan kubalikkan tubuhnya dan lantas terlihat punggungnya yang putih mulus, halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di pundak dan punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan kusapu dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya sampai ke siku dan dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang secara otomatis menarik t-shirt yang dibatasinya ikut serta turun ke bawah dan dari belakang pundaknya itu.
Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar namun sangat menantang dan pada bukit yang sebelah kanan nampak tonjolannya yang masih berwarna merah dadu meskipun yang sebelah kiri tidak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan dia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya malah kurasakan semakin lemas oleh karena semakin berat aku menahannya.
Dengan konsisten dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada dan perlahan kurebahkan ia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga bobot tubuh, meskipun tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu dan berakhir di ujung liang kupingnya.
Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya dan langsung kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku menjelang mulut dan mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher dan terus turun menelusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang kelihatan itu. Lima sampai tujuh kali putaran dan putingnya kian mengeras. Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya. Sandra memberikan leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun dan menelusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yang masih menutupi bukitnya. Seketika sekarang dengan terang kedua puting susunya masih berwarna merah dadu melainkan yang kiri masih karam dalam gundukan bukit. Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.
Kujilat pas di zona puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menunjukkan dirinya dengan malu-malu dan lantas kutangkap dengan lidah dan kutekankan di gigi komponen atas, “Ach… ach… ach…” bunyi desisnya semakin menjadi dan kali ini tangannya juga mulai aktif memberikan perlawanan dengan mengusap rambut dan punggungku. Sambil terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah zona yang baru turun ke bawah lewat jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana dalamnya perlahan turun sedikit dan lantas tersentuh bulu-bulu yang sedikit lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan namun bergerak kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya dan hingga pada zona pinggulnya dan langsung kutekan dengan agak keras dan mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat bokong dan pinggulnya.
Aku kutekan kembali lagi pinggul ini melainkan kali ini kulakukan keduanya kanan dan kiri dan, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Saat kaget juga, itu kan artinya Sandra sadar siapa yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan peluang itu untukku. Matanya masih terpejam cuma-hanya kadang terbuka. Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun. Langsung, oleh karena Sandra memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang dikerjakannya sungguh-sungguh membantu.
Tungkainya sungguh-sungguh proporsional, kencang, putih mulus, tentu ia merawatnya dengan baik juga oleh karena dia juga kan berasal dari keluarga kaya, sekiranya tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha komponen dalamnya turun ke bawah betis, terus turun sampai punggung kaki dan secara tak terduga Sandra meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh napasnya yang masih memburu.
Kemudian dia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa dan kubantunya lalu dia mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif menarik retsleting celanaku dan menariknya lepas. Kini saja saya berdiri dan melepaskan seluruh bajuku dan kuterjang Sandra sehingga ia rebah kembali dan kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut serta mengimbangi dengan mengusap rambutku, ketika saya sampai di selangkangannya kulihat dia menggunakan celana berwarna dadu dan kelihatan belahan tengahnya yang sedikit cekung sementara pinggirnya nampak keluar mirip pematang sawah dan ada sedikit noda basah di tengahnya tak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip keluar dari balik celananya.
Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya dan kembali kurentangkan kakinya seraya saya juga melepas celanaku. Sinting kami sama berbugil, kemaluanku tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku. Sementara Sandra telah mengangkang lebar namun labia mayoranya masih tertutup rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan kelihatan sebuah lubang kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang berwarna pucat demikian juga dindingnya terlihat berwarna pucat walau lebih merah dibandingkan dengan bagian tengahnya. Tidak, terbukti masih perawan.
Saya lama kulihat langsung keluar cairan bening yang mengalir dari lubang itu oleh karena sudah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar dan banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru dikala itu kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk membersihkannya tapi banjir itu datang tak tertahankan. Dikala kembali naik dan menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku melekat di selangkangannya dan aku telah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal itu dengan tenaga lemah yang makin lama makin kuat.
“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan ideal. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas oleh sebab licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali masih gagal juga tapi yang ketiga rasanya saya berhasil saat tangan Sandra tiba-tiba mengatur erat kedua pergelangan tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai menjelang liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh batang kemaluanku telah tertanam dalam liang surganya dan kaki Sandra malah sudah melingkari pinggangku dengan erat dan menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, pintanya saat aku ingin bergerak.
Saya ketika kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Sandra pun telah turun, awalnya umum saja dan tanggapan yang dikasih juga masih minimal, sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir keringat mulai menonjol di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin mempesona dan gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan Sandra malah mulai dapat mengimbanginya.
Makin lama gerakan kami kian seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di dadaku kini bergerak naik dan kesudahannya mengusap kepala dan punggungku. “Yach… ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian saya makin menikmati liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin liar. Tangannya sudah meremas bantal dan menarik kain sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun yang kunikmati ketika ini yakni kenikmatan yang makin meningkat dan luar lazim, lain dari yang kurasakan selama ini melewati masturbasi.
Makin kencang, pesat, pesat dan kesudahannya kaki Sandra kembali mengunci punggungku dan menariknya lebih ke dalam beriringan dengan pompaanku yang terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan enak itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan, “Crooot… crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan memberikan rasa hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam tiada berujung. Selesai sudah pertempuran melainkan kekakuan tubuhnya masih kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku.
Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas supaya muatan tubuhku tidak menindih paru-parunya namun konsisten tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami berdua.
“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran saya boleh tanya?” bisiknya perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang melekat di ujung hidungnya.
“Saat… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya sesudah sempat terdiam sejenak. “Yang pertama”, kataku meyakinkannya, melainkan Sandra mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tetapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San, thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan batang kemaluanku juga masih belum keluar tetapi saya juga ikut serta terlelap.