Namaku Nina, dikala ini aku sedang kuliah semester akhir di salah satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung. Dikala kejadian itu menimpaku, aku sedang duduk di semester dua. Sesungguhnya segala keluargaku tinggal di kota Jakarta, dan mereka agak keberatan jikalau aku wajib kuliah di luar kota, tetapi saat itu aku telah bertekad untuk belajar hidup mandiri sampai akhirnya mereka mengijinkan aku untuk melanjutkan studi di kota tersebut.
Di Bandung aku tinggal di sebuah kos putri yang letaknya tak demikian itu jauh dari kampusku. Aku tinggal bersama seorang temanku yang saya ketahui di kampus. Namanya Lenny, dia gadis berdarah Sunda asli. Meskipun ia bisa saja tinggal di rumahnya yang juga berada di kota Bandung, melainkan menurutnya dia berharap lebih bisa berfokus dengan kuliahnya, jadi ia menetapkan untuk tinggal di kos bersamaku.
Lenny adalah gadis yang amat pintar dan juga sopan, seperti itu sopannya sampai-sampai ia tidak pernah mengenakan pakaian yang seksi atau sedikit terbuka saat bepergian atau berangkat kuliah, meski menurutku wajah Lenny betul-betul cantik, rambutnya panjang dan hitam dengan kulit tubuh yang putih mulus, layaknya gadis gadis Sunda pada biasanya, sementara postur tubuhnya juga betul-betul baik dan proporsional, pinggangnya ramping disokong oleh kedua belah kakinya yang level, apalagi Lenny juga mempunyai payudara yang besar, mungkin dua kali lebih besar daripada buah dadaku. Pokoknya, bila saja Lenny mau berdandan dan sedikit merubah penampilannya, dia dapat menjadi salah satu gadis tercantik di tempat kuliahku.
Untuk memenuhi kebutuhanku supaya tidak terlalu mengandalkan uang kiriman dari orang tuaku, saya memastikan untuk kuliah sambil berprofesi paruh waktu di salah satu club billiard yang cukup besar dan eksklusif di kota Bandung. Aku berprofesi menjadi salah seorang penjaga meja, sekalian merangkap pramusaji di club tersebut, kadang kadang aku merasa sungguh-sungguh lelah dan letih, apalagi apabila aku semestinya terpaksa pulang larut malam dari daerah kerja. Tetapi tidak apalah, yang penting aku dapat mempunyai cukup uang dan bisa memenuhi kebutuhanku sendiri tanpa wajib mengandalkan kiriman uang dari orang tuaku, lagipula saya sudah bertekad untuk belajar hidup mandiri.
Singkat cerita, hari itu saya sedang keder, karena esok hari yaitu hari terakhir waktu pembayaran uang semester, meskipun kiriman dari orang tua belum juga sampai ke rekeningku, dan saat gajianku masih seminggu lagi, sementara uang tabunganku telah habis untuk keperluan dan biaya hidupku sehari-hari sampai petang itu aku benar benar pusing memikirkannya. Hasilnya, kuberanikan diri untuk meminjam uang ke club daerah aku bekerja, tetapi perusahaan tidak dapat mengabulkan permohonanku dengan alasan dikala itu tidak ada dana yang tersedia sebab seluruh uang yang ada telah disetorkan ke pemiliknya.
Malam itu, dengan perasaan sedih dan bingung, aku berkemas untuk pulang kembali ke kosku. Dikala itu jam kerjaku memang telah selesai. Saya berjalan lunglai dari ruangan karyawan, linglung memikirkan nasibku besok, ketika kulihat Lenny telah menungguku di ruang tunggu
“Gimana Nin? Bisa pinjaman uangnya?” tanya Lenny.
“Nggak bisa Len.. Nggak apa-apa deh, esok hari gua minta keringanan aja dari kampus” ujarku dengan nada lemas.
“Elu sendiri, dari mana.? Tumben mampir ke sini?” tambahku sambil mengamati ke arah jam tanganku, saat itu sudah hampir jam sepuluh malam, tak lazimnya Lenny berani keluar malam-malam, pikirku heran.
“Gua abis dari mall di depan, ngecek ATM, siapa tahu kiriman gua udah sampai, buat nalangin upah elu, tetapi terbukti belum hingga..” ujar Lenny dengan nada menyesal.
“Thanks banget untuk usaha lu Len.” ujarku sambil mengajaknya pulang.
Kami berdua berjalan melewati ruangan billiard. Ketika itu di sana masih ada empat orang tamu yang sedang bermain ditemani oleh manajerku, mereka adalah sahabat-sahabat dari pemilik club tersebut, jadi sedangkan club tersebut telah tutup, mereka konsisten dapat bebas bermain. Aku sempat berpamitan dengan mereka sebelum saya kembali berjalan menuju pintu keluar saat tiba-tiba salah seorang dari mereka memanggilku..
“Nin.., Temenin kita main dong..!” serunya.
“Kita taruhan. Berani nggak?” tambah sahabatnya sambil melambaikan tangannya ke arahku.
Aku tertegun sejenak sambil menatap bengong ke arah mereka. Rupanya mereka sedang berjudi, dan mereka mengajakku untuk bergabung. Wah, boleh juga nih. Siapa tahu menang.., pikirku.
“Taruhannya apa? Aku lagi tidak bawa uang banyak..!” seruku, sementara kulihat Pak Dicky manajerku, berjalan menghampiriku.
“Mudah.., bila kamu bisa menang, satu game kami bayar lima ratus ribu, namun jikalau kau kalah, nggak perlu bayar, kamu cuma patut buka pakaian aja, kita main sepuluh game.. Setuju?” seru salah seorang dari mereka.
Saya terkesiap mendengar tantangannya, kulirik Lenny yang saat itu sudah berada di depan pintu keluar, dia terlihat menggelengkan kepalanya, sambil memberi pertanda kepadaku, agar aku cepat-pesat meninggalkan club tersebut.
“Brengsek! Nggak mau..!” ujarku sambil membalikkan tubuhku. Bisa-bisa saya telanjang jika dalam sepuluh game itu saya keok terus, pikirku dengan sebal. Tetapi tiba-tiba langkahku terhenti ketika tangan manajerku menahan pundakku.
“Terima aja Nin, kau kan lagi butuh uang, lagipula mereka nggak begitu terampil kok..!” ujar manajerku berupaya membujuk.
“Melainkan Pak..!” jawabku dengan nada kebingungan, sebenarnya saya mulai tertarik untuk memenuhi tantangan mereka, dengan kemauan saya dapat memenangkan segala game, lagipula saya benar benar membutuhkan uang tersebut.
“Sudahlah.! Seandainya kau bersedia nanti saya beri tambahan uang, lagipula nggak nikmat menolak tamu-tetamu bos..” ujarnya sambil terus membujukku.
“Oke.. Tetapi sekiranya saya keok terus gimana?” tanyaku terhadap mereka.
“Tenang aja, kau cuma lepas baju aja kok! Kami janji nggak akan bertingkah jenis macam..!” mengasyikan orang yang berada paling dekat denganku.
“Bagus.. Tapi janji.. Tak akan jenis ragam!” jawabku memutuskan perkataan mereka, sementara Lenny lantas berjalan menghampiriku.
“Lu udah gila apa Nin..! Gua ngga sependapat!” serunya dengan nada naik darah.
“Hening aja Len, elu duduk aja di sana, nungguin gua..! Oke?” ujarku sambil menunjuk ke arah sofa yang berada di pojok ruangan.
“Melainkan Nin?” ujar Lenny dengan wajah ketakutan.
“Udah, nggak apa-apa, elu nggak perlu takut..” sanggahku sambil tersenyum menenangkan hatinya, hasilnya Lenny bahkan berjalan dan duduk di sofa tersebut.
Sudah lima game berjalan, saya menang dua kali dan keok tiga kali, membuat saya semestinya menanggalkan baju hangat, blouse dan celana panjang yang kukenakan sampai ketika itu cuma tersisa bra dan celana dalam saja yang masih menempel di tubuhku. Jangan sampai kalah lagi, ujarku dalam hati, dua kali lagi aku kalah, karenanya saya akan benar-benar Bugil. Pikiranku mulai panik, sementara di pojok ruangan, Lenny telah menonjol mulai gelisah memperhatikan keadaanku.
Namun sial. Udara dingin dari AC di ruangan tersebut membikin saya susah untuk berkonsentrasi sehingga saya kembali keok pada game keenam, membikin mereka langsung bersorak riuh, memintaku untuk segera menanggalkan bra yang kukenakan. Aku sudah hampir menangis saat itu, namun mereka terus memaksaku, karenanya dengan perasaan berat dan malu, walhasil kulepaskan juga bra yang melekat di tubuhku, membuat buah dadaku langsung mencuat dan terbuka di hadapan mata mereka yang terlihat melotot dikala melihat tubuh telanjangku.
“Telah.. Telah, kita berhenti saja, aku menyerah!” seruku memelas sambil berupaya menutupi tubuh komponen atasku, saat itu saya sudah merasa sungguh-sungguh malu dan tak lagi beratensi untuk meneruskan taruhan itu.
“Nggak bisa..! Perjanjiannya kan sampai kamu telanjang, baru permainannya selesai..!” protes lawan mainku, kesudahannya saya cuma bisa menuruti keinginannya.
“Buka.. Buka..!” sorak mereka dikala pada game selanjutnya saya kembali kalah dan sepatutnya melepas celana dalamku.
“Telah.. Kita batalkan saja taruhannya..!” jeritku sambil meraih pakaianku dan berlari menjauhi mereka, tetapi salah seorang dari mereka dengan sigap menubrukku dari belakang, membuatku terhempas di atas meja billiard dengan posisi menelungkup dan laki-laki itu menindihku dari atas.
“Lepaskan..!” teriakku terkejut sambil meronta dengan sekuat kekuatan, namun laki laki itu terus menindihku dengan kuat, membuat aku benar benar tak bisa bergerak sama sekali, alhasil aku terkulai lemah tidak berdaya sambil terus menangis.
“Pak dicky..! Tolong saya Pak..!” jeritku sambil menyapukan pandangan mencari manajerku.
Betapa terkejutnya saya dikala kulihat Pak Dicky sedang mendekap tubuh Lenny sambil tangannya berusaha melucuti pakaian yang menempel di tubuhnya dibantu oleh tiga orang sahabatnya. Berbarengan dengan itu kurasakan sesuatu mendesak masuk ke dalam liang kemaluanku. Ternyata saat itu laki-laki yang berada di atas tubuhku, sudah akan memperkosaku. Dia menyelipkan batang penisnya dari sela-sela celana dalam yang kukenakan dan terus menekannya dengan keras, membikin batang kemaluannya makin terhunjam masuk melalui bibir vaginaku.
“Jangan.. Ouh..!!” jeritku sambil berupaya menahan pahanya dengan kedua tanganku, namun batang alat vitalnya terus melesak masuk, sehingga alhasil benar-benar terbenam seluruhnya di dalam liang vaginaku.
“Jangan keluar di dalam, Pak..!” gumamku pelan sambil menahan tubuhku yang berguncang dikala laki-laki itu mulai memompaku.
“Oke.. Uh.. Ssh.. Kau indah Nina..!” ceracau laki laki itu saat mulai bergerak di dalam tubuhku.
“Ouh.. Hh..!” desahku lirih.
Aku memejamkan mataku, menikmati getaran yang mulai menjalari segala tubuhku, dikala pemerkosaku menghentakkan tubuhnya dengan makin cepat, membuat saya mulai terstimulasi dikala itu, dan tanpa sadar saya malah ikut serta menggerakkan pinggulku, berupaya mengimbangi gerakannya.
Aku memang sudah kerap kali melaksanakan hubungan badan dengan pacarku sejak saya masih duduk di tempat duduk SMU, malah kegadisanku sudah terenggut oleh pacarku saat aku masih di kelas satu SMA, dan semenjak ketika itu kami rutin melakukan aktifitas seks, hingga akhirnya aku pergi melanjutkan studi di Bandung, dan sekarang aku kembali menikmati kenikmatan itu setelah selama satu tahun aku tak pernah lagi bersetubuh.
“Ouh.. Shh. Ah.” desahku sambil terus menggoyangkan pinggulku.
Sementara di pojok ruangan, kulihat Lenny sedang berjuang dengan sekuat daya untuk melepaskan diri dari keempat orang yang sedang menggumulinya. Ketika itu keadaan Lenny benar benar sudah betul-betul awut-awutan, kemeja lengan panjang yang di kenakannya telah terbuka lebar dan hampir lepas dari tubuhnya, sementara bra yang dikenakannya sudah nampak setengah terbuka hingga membikin satu payudaranya menyembul keluar.
“Jangan.. Jangan.. Lepaskan.. Tolong..!” jeritnya keras sambil berupaya meronta dan melawan dengan giat saat seseorang dari mereka mulai mengangkat rok panjang yang dikenakan oleh Lenny.
“Jangan..! Toloong..!” jerit Lenny makin keras sambil menendang-nendangkan kedua belah kakinya dikala mereka mulai menggerayangi tubuh komponen bawahnya dengan buas.
“Hentikann..! Hentikan.!” teriak Lenny putus impian sambil menangis sejadi-jadinya sementara tangannya berupaya menggapai ke arah bawah, mencoba menahan tangan-tangan yang sedang melolosi celana dalamnya, tetapi gerakannya tertahan oleh tangan Pak Dicky yang dikala itu terus mendekap tubuh Lenny dari belakang.
Manajerku itu terus memaksanya untuk tetap berada di dalam pangkuannya, sambil sekali-sekali meremas dan mempermainkan puting buah dada Lenny. Sebagian ketika kemudian, dua orang dari mereka mengangkat tubuh Lenny sambil merenggangkan kedua belah kakinya, sementara Pak Dicky tetap mendekap tubuh Lenny sambil mulai membimbing batang alat vitalnya ke sela-sela bibir alat vital temanku itu.
Dikala itu keadaan Lenny sungguh betul-betul mengenaskan, pakaian komponen atasnya sudah terbuka dengan lebar, sementara roknya pun telah tersingkap hingga sebatas perutnya, dan saya bisa memperhatikan jelas, dikala tubuh Lenny terlihat menggeliat hebat ketika kedua orang yang mengangkat tubuhnya itu mulai menurunkannya dengan perlahan, membuat batang alat kelamin Pak Dicky melesak masuk ke dalam liang vaginanya.
“Ough..! Jangaan..!” jerit Lenny parau sambil meringis kesakitan ketika vaginanya mulai dijejali oleh alat vital Pak Dicky.
Perlahan, kulihat batang alat vital itu terus melesak masuk sampai akhirnya lenyap dan terbenam seluruhnya di dalam liang rahim Lenny, saat itu tubuh Lenny benar-benar sudah menyatu dengan tubuh Pak Dicky. Dan Lenny kelihatan mengerang kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya.
“Arghh.. Sakitt.., perihh, lepaskan itu dari tubuhku..!” jerit Lenny dengan nafas yang tersengal-sengal, ia masih berupaya meronta, dikala Pak Dicky mulai bergerak di dalam tubuhnya, membikin Lenny makin menjerit-jerit kesakitan, sampai akibatnya tubuhnya terkulai lemas tak sadarkan diri di dalam dekapan Pak Dicky.
Pak Dicky masih terus memompa tubuh Lenny yang pingsan itu dengan kasar, semacam itu kasarnya hingga membuat tubuh temanku itu turut berguncang dengan hebat. Aku dadanya yang besar menonjol menggeletar dan terhempas kesana kemari saat tubuhnya bergerak naik turun, sementara saat itu aku malah masih terus digarap oleh laki-laki yang sedang memperkosaku, hingga alhasil tubuhku menegang dengan keras.
“Ohh..!” saya mendesah keras dikala telah menempuh orgasme, semua sumsum di tulangku serasa ditarik keluar saat aku benar-benar telah mencapai puncak kenikmatan, tapi tiba-tiba aku menjadi panik luar lazim dikala kurasakan penis laki-laki itu berdenyut keras di dalam liang rahimku.
“Jangan.. Jangan di dalam..! Lepaskan.. Bajingan..!” jeritku putus cita-cita dikala kurasakan cairan hangat membanjiri rongga kemaluanku. Laki-laki itu telah menyemburkan cairan spermanya di dalam liang rahimku.
Sesaat kemudian posisinya sudah digantikan oleh temannya, dan aku kembali diperkosa. Sementara di pojok ruangan, Lenny pun masih terus digarap oleh mereka, kulihat darah keperawanannya meleleh keluar dari sela-sela bibir vaginanya, bercampur dengan cairan air mani, saat seorang dari mereka mulai kembali melesakkan liang organ intim wanita Lenny dengan batang penisnya.
Malam itu, Saya dan Lenny menjadi piala bergilir, tubuh kami berdua dikerjai dan diperkosa habis-habisan oleh mereka. Dikala itu baru berakhir saat waktu telah menonjolkan jam empat subuh. Kulihat di depanku tertumpuk sejumlah uang pecahan seratus ribu. Kuraih uang tersebut sambil berupaya bangkit dan mengenakan semua pakaianku, sesudah itu saya berjalan mendekati tubuh Lenny yang masih meringkuk di sudut ruangan. Ketika itu ia telah siuman dari pingsannya, ia mengerang kesakitan sambil menangis meratapi kegadisannya yang sudah terenggut paksa pada malam itu. Kurangkul tubuhnya dan membantunya berjalan pulang..
Sebelum sepuluh tahun yang lalu aku hanyalah buah hati laki-laki umum yang bersuka ria bermain bola di lapangan yang becek sisa hujan semalam atau berlari-larian mengejar layangan putus sampai ke kebun orang dan dimarahi sang pemilik kebun. Namun kemudian..
***
“Kak, mandi dahulu baru makan!” teriak ibuku dari dapur.
“Ntar ah, lapar nih, Bu!” balasku juga berteriak.
“Kamu sih, main dari mulai pulang sekolah, baru pulang sore-petang demikian ini.” Ibuku mengomel.
Habis berharap bagaimana lagi aku menyukai sekali bermain layangan, apalagi kini sedang musimnya, jadi banyak sekali layang-layang yang berterbangan di atas langit sana mengajakku bermain kejar-kejaran dengannya.
“Ntar Mas Agus berharap ke sini lho!” sebut ibuku.
“Iya, udah tahu!” balasku.
Mas Agus, pamanku, merupakan buah hati dari kakak perempuan ayahku yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang familiar dengan candi Borobudurnya, dan di situ pulalah Mas Agus bekerja sebagai seorang tentara berpangkat sersan dua. Tapi sedangkan daerah tinggal kami berjauhan, keluarga kami dan paman sudah sungguh-sungguh dekat. Dua atau tiga minggu sekali Mas Agus datang berkunjung ke rumah kami di Bandung.
Mengapa paman datang aku pasti merasa benar-benar bergembira. Karena? Dia paman betul-betul bagus, ia selalu mengajakku pergi berbelanja ke supermarket, ia membelikan banyak sekali barang yang kuminta. Kecuali benar-benar suka dengan buah hati kecil. Ia itu Mas Agus belum menikah padahal umurnya telah hampir Indo pussy kepala tiga. Kecuali bilang pada ayahku bahwa ia belum siap untuk berumah tangga.
“Dikala sini, ada Mas Agus.” panggil ibuku dari ruang tamu.
“Bentar Bu, lagi mandi.” teriakku dari dalam kamar mandi.
Kupercepat mandiku, kubilas seluruh busa-busa sabun yang melekat di badan sampai bersih, kemudian kuambil handuk dan kukeringkan di tubuhku. Lalu saya bergegas masuk kamar. Ketika pintu kamar kubuka, ternyata Mas Agus sudah ada di dalam kamar.
“Udah mandinya?” tanyanya.
“Udah, seger banget Mas!” jawabku.
“Sini dibajuin sama Mas Agus.”
“Lepasin dulu handuknya, Ndra!”
Kulepaskan handuk dari tubuhku. Paman menatapku dengan pandangan aneh, lurus dan tajam ke arahku, tepatnya tubuhku.
“Mas Agus! Mas Agus!” kupanggil namanya beberapa kali. Dan seperti bangun dari mimpinya, dengan sedikit terhentak Mas Agus tersadar kembali.
“Oh, mm, kamu ambil pakaiannya terus bawa ke sini, biar Mas agus yang pakein.”
Kupilih salah satu t-shirt di dalam lemari, juga kaus dalam, CD, dan celana pendeknya, dan kemudian memberikannya pada Mas Agus. Mas Agus menerimanya dan meletakkan semuanya di atas kasur. Kemudian ia meraih bedak powder di atas meja di samping ranjang.
“Mas itu mah bedaknya ade. Aku kan udah gede udah nggak pake bedak lagi” ucapku dikala itu juga.
“Ah, nggak apa-apa kok biar wangi.” jawabnya.
Mas Agus mulai menaburkan bedak dan menggosokkannya dengan rata ke semua tubuhku, termasuk pantatku, dan.. penisku.
“Badan kamu baik, udah besar mau jadi apa? Sebentar nggak jadi tentara?” tanya pamanku masih sambil menggosok-gosokan bedak di tubuhku.
“Nggak tau ah, gimana entar aja.” jawabku sambil agak ketawa, habis geli banget diraba-raba sama Mas Agus.
“Diawali yah!” Mas Agus beranjak dari ranjang menuju pintu kamar kemudian menguncinya.
“Kalo kau jadi tentara nanti badan kau bakal kebentuk seperti paman. Nih Mas Agus tunjukin badan Mas Agus.”
Paman mulai membuka pakaiannya helai demi helai. Indra dengan kemeja biru langitnya, lalu kaus singletnya. Wah, badan Mas Agus memang baik banget, dadanya keren, meskipun tidak demikian itu besar melainkan berisi. Perutnya, wah kalau sekarang nih orang bilang six-packs. Lalu Mas Agus mulai membuka celana panjangnya. Here’s more about cerita ngentot orang gila check out our own site. Di dalamnya nampak CD-nya yang berwarna putih. Kemudian dia lanjutkan helai terakhir dan, wah.. besar sekali, di sekelilingnya juga ada hamparan bulu-bulu halus yang rapi terpotong pendek.
“Sini coba kau pegang badan Mas Agus.” pintanya.
“Nah, jikalau kau ingin jadi tentara kau sepatutnya banyak olahraga dari sekarang, jadi badan kamu akan terwujud seperti badan Mas Agus.” Dijelaskannya bagaimana ia dapat mempunyai tubuh yang dibanggakannya sambil memberi pengarahan tanganku di sekitar dada dan perutnya.
“Saat kamu juga bakal turut besar.” ucapnya sambil mengatur penisku.
“Ketika! Turun dulu!” Mas Agus spontan melepaskan tangannya dari penisku dan kembali menerapkan pakaian yang tadi dilepasnya dikala mendengar teriakan Ibuku dari bawah.
“Iya!” teriakku sambil mengaplikasikan pakaian yang dari tadi menunggu untuk kukenakan.
Saat malam sambil menonton TV di ruang keluarga, paman menghampiri dan menaikkanku dalam pangkuannya.
“Kok nggak belajar?” tanyanya memulai percakapan.
“Nggak ada PR” jawabku singkat.
“Belajar kan nggak patut tepat ada PR.” sebutnya menasehati. Saya membisu saja, tak membalas.
Masih dalam pangkuan Mas Agus, waktu berlalu tanpa berkata sampai mataku hasilnya terpejam kelelahan, terlelap dalam pangkuannya. Tetapi dalam tenang malam itu, aku terusik oleh sesuatu. Melainkan apa? Aku merasa ada seseorang yang menyentuh-raba tubuhku. Aku merasa seperti itu geli. Tapi kemudian rabaan-rabaan itu berhenti. Aku mau membuka mataku.
Sedikit demi sedikit mataku terbuka. Dimana ini? Oh ini kan kamar tetamu, pasti tadi Mas Agus menggotongku ke kamarnya sebab saya ketiduran. Bola mataku bergerak ke arah kanan dan kulihat samar Mas Agus berdiri di samping ranjang sedang membuka helai demi helai pakaiannya. Namun segala pakaiannya tanggal dari tubuhnya kemudian ia mengambil sesuatu di dalam ransel tas yang dibawanya. Kemudian paman duduk di ranjang, tepat di sampingku. Indera saya kembali memejamkan mataku, berpura-pura tidur. Tetapi kemudian..
“Ketika.. Saat..!” terdengar paman berbisik di telingaku, membangunkanku. Kubuka mataku pelan-pelan.
“A-apa?” tanyaku berdebar-debar.
“Mas Agus pegal-pegal nih, kamu pijitin sebentar yah!” pintanya.
“Kau nggak kepanasan? Sini Mas Agus bukain bajunya.” Tanpa mendengar jawabanku, paman segera melucuti pakaianku satu persatu sampai telanjang sama sepertinya. Kemudian paman merebahkan tubuhnya, tengkurap di ranjang.
“Kamu pijitin Mas Agus, yah! Kamu duduk di punggung Mas Agus aja biar gampang.” ucapnya. Kuturuti anjurannya dan lalu kemudian mulai menggerak-gerakkan jariku di pundaknya.
“Iya di situ Ndra, duh enak banget!” sebutnya puas.
Iya Mas Agus enak, nah aku, orang lagi mengantuk bahkan disuruh mijit. Pantat pelak hampir tiap-tiap menitnya saya menguap sebab mengantuk. Melainkan kemudian..
“Saya Mas Agus juga pegel nih, pijit yah!” pintanya lagi.
“Iya.” jawabku singkat. Aku bergeser mundur hingga kudapat posisi terbaik untuk memijat. Dan kembalilah jari-jariku bekerja. Memijat bokongnya yang padat berisi.
“Kok nggak kerasa yah, digigit aja deh!” pintanya.
“Digigit?” tanyaku spontan.
“Iya digigit, tapi jangan keras-keras!” jelasnya.
Untuk sebentar aku terdiam. Apa? Aku semestinya memijat bokong Mas Agus dengan gigiku. Aku yang berwarna lebih jelas dari komponen tubuhnya yang lain itu, dengan mulutku. Sekarang kemudian aku tersadar kembali oleh suara Mas Agus.
“Ayo dong Ndra!” pintanya.
“I-iya.” jawabku.
Kubuka mulutku agak lebar, mendekatkan wajahku hingga kesudahannya mendarat di permukaannya. Dan selanjutnya segala berjalan layak instruksi.
“Sambil dijilat Ndra biar licin!”
“Ah..”
“Disedot juga dong!”
“Nah.. Iya gitu!”
“Terus.. Terus Ndra..” ucapnya. Beberapa dikala kemudian aku terhentak dikala secara tiba-tiba Mas Agus membalikkan tubuhnya.
“Aku yang ini!” katanya sambil menunjuk penisnya.
Dia saya mau ini segera berakhir, tanpa banyak bertanya seketika saja kulakukan perintahnya. Dan instruksi-perintah itu bahkan berlanjut. Saya bisa menikmati penis itu semakin lama kian membesar. Warnanya pun yang tadinya putih kini memerah. Melainkan hasilnya mulutku cuma dapat disusupi komponen kepalanya saja. Sementara aku yang semakin mengantuk, mendengar bunyi desahan-desahan Mas Agus yang kian menderu. Aku ketika dimana kurasakan penisnya menyodok-nyodok masuk ke mulutku dan membanjiri isinya dengan cairan sperma Mas Agus yang hangat. Kemudian Mas Agus menarikku ke dalam dekapannya. Memelukku erat, mencium bibirku sampai lidahnya masuk dan merebut sebagian sperma yang tadi ia berikan padaku. Lalu diciuminya leherku, dielusnya tubuhku, sementara aku telah terlelap dan diam.
Lima tahun kemudian, lima tahun sebelum hari ini Mas Agus yang telah empat tahun tidak pernah lagi berkunjung karena ditugaskan di luar kota, petang itu di hari Sabtu yang agak kelabu ia datang dengan seragam lengkapnya. Melainkan kali ini dia datang tak sendirian, ia datang bersama seorang wanita yang dia akui sebagai istrinya yang baru dinikahinya sekitar satu tahun yang lalu. Aku yang saat itu masih baru paham bahwa kejadian di malam dulu itu bukanlah cuma pijat-memijat biasa, merasa tidak percaya. Mungkinkah Mas Agus tak seperti yang kupikirkan selama ini. Tapi.. aku.. saya telah telanjur ’sakit’..
Kuambil tempat duduk itu dari tempatnya semula. Kemudian kuletakkan tepat di depan pintu. Pintu kamar dimana Mas Agus dan istrinya tidur. Sengaja saya tak tidur sampai via tengah malam semacam ini cuma untuk menandakan sesuatu. Kulihat dari celah udara yang sempit itu dan, kulihat Mas Agus di sana ideal sedang menindih tubuh istrinya. Mas agus menggerak-gerakkan penisnya keluar masuk Miss V istrinya sambil tangannya mengelus-elus kedua buah dada istrinya. Sementara bibirnya sedang menggerayangi komponen leher.
Istri Mas Agus nampak amat menikmatinya, terlihat dari erangan-erangannya. Namun tak lama kemudian semua berakhir, Mas Agus telah berada di puncak dan melepaskan segala spermanya masuk ke dalam vagina istrinya. Kuletakkan kembali bangku kembali ke tempatnya. Lalu aku beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan Tapi. Sendiri dalam temaram hanya ada cuma televisi saya berniat untuk begadang sampai pagi dan mencoba untuk melupakan apa yang baru saja terjadi. Dia jawaban dari pertanyaanku sepertinya telah terjawab langsung di mataku. Mungkin memang aku yang aku salah..
“Kok belum tidur?” Tiba-tiba saja kudengar suara Mas Agus di sampingku mengagetkanku. Tetapi aku membisu tak dapat menjawab. Mas Agus yang datang bertelanjang dada dan cuma mengenakan celana pendek itu membuatku menjadi gagu.
“Tolong pijitin Mas Agus, dong!” Tiba-tiba kalimat itu terdengar lagi sesudah sekian lama. Tetapi aku konsisten diam.
“Ayo dong, sejenak aja kok!” lanjutnya.
Kemudian pelan-pelan mulai kuangkat tanganku ke atas pundaknya, lalu sejenak. Melainkan kemudian saya teringat akan kejadian yang baru saja kulihat. Kamar ini dengan pesat kuangkat kembali tanganku dari pundaknya.
“Mas Agus, maaf Ketika ngantuk, ingin tidur.” ucapku sambil berlalu.
Keesokkan malamnya saya terbangun sebab tidak kuasa menahan rasa untuk buang air kecil. Lalu dengan sedikit berlari, aku bergegas ke kamar mandi. Kubuka pintunya dan kuperosotkan celana dengan cepat lalu CD dan, ahh.. lega sekali, seperti melepaskan kencang. Melainkan tetes terakhir kusiram penis dan lubang Aku dengan air. Ketika saya balikkan badan, kulihat Mas Agus telah barada pas di depan pintu. Sesudah kutarik naik CD dan celanaku kencang lalu beranjak pergi.
Saya baru sampai di depan pintu kamarku saat hingga tangan itu menahanku dari belakang. Lalu membalikkan tubuhku. Aku tertunduk bisu. Lalu tiba-tiba ia mengangkat tubuhku, menggendongku masuk ke dalam kamarku. Tetapi mengunci pintu, diturunkannya saya di tepi ranjang. Kemudian dia mengangkat wajahku yang tertunduk dan mendaratkan bibirnya tepat di bibirku.
Ciuman itu seperti itu lembut, perlahan tetapi bisa kurasakan getarannya. Tanpa sadar tubuhku terjatuh di atas ranjang sambil terus berciuman. Lidah kami saling tapi. Kemudian dia melepaskan pakaianku sambil berjumpa ciumanku di bibirnya. Lalu dia mulai menjelajah menikmati leherku, dijilatnya leher dan telingaku sampai memerah. Lalu ia bangkit dan membuka T-shirt yang sampai.
Namun bajunya terlepas kuambil inisiatif untuk membuka sendiri celana yang dikenakannya juga CD-nya. Dan kelihatan jelas sekarang apa yang telah empat tahun tak pernah lagi kulihat. Tubuh itu masih nampak kekar. Sebuah penis berukuran besar yang teracung berwarna kemerahan dan di sekitarnya tak bulu-bulu halus kini terpampang di depanku. Kujilati penis itu dengan lidahku dari buahnya hingga kepala penisnya. Lalu kulahap masuk ke dalam mulutku. Kugerakkan keluar masuk sambil kumainkan lidahku.
“Oh.. terus ‘Ndra!” sebutnya lembut. Kemudian dia memintaku berhenti dan melepaskan celana dan CD-ku.
“Tidak kamu udah besar, yah!” ucapnya sambil tersenyum. Lalu dikulumnya penisku sampai memerah.
“Aku kau masukin punya kau ke sini, yah!” ucapnya sambil bergaya doggy style dan menunjuk lubang analnya. Kumasukkan penisku perlahan, pertama terasa sulit, tapi kemudian..
“Ah.. Ah.. Ah! Mas Aku ingin keluar, nih!” ucapku dalam gairah. Mas Agus kemudian bangkit dan mengulum penisku hingga..
“Ah..!” erangku.
Spermaku masuk ke dalam mulutnya terus ke tenggorokannya. Tak berhenti sampai di situ, kemudian ia baringkan tubuh lemasku di atas tubuhnya sehingga pantatku pas berada di atas penisnya. Kemudian ia masukkan penisnya ke dalam lubangku dengan tangannya. sekali. Melainkan walhasil Mas Agus bangkit menyemburkan semuanya di atas wajahku.
Dalam lelah dan kantuk, dengan mata sedikit terbuka kulihat Mas Agus berpakaian dan pergi meninggalkan kamarku, meninggalkan saya dalam dasar jurang yang gelap sampai hari ini..
-
Elmo Swank created the group cerita xxx mariana renata beserta foto 8 years, 5 months ago